Sebenarnya Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah lama
meniupkan hawa perlawanan dan pemberontakan terhadap Indonesia. Kelompok ini
bersikeras untuk mengganti dasar negara Republik Indonesia, yakni Pancasila
menjadi negara yang berdasar asas komunis. Perlawanan PKI yang tidak diterima
oleh setiap kalangan ini, menjadikan kelompok ini merencanakan sebuah rencana
yang besar.
KRONOLOGIS PENUMPASAN PKI
1. Tanggal
1 Oktober 1965
Operasi penumpasan G 30 S/PKI dimulai sejak tanggal
1 Oktober 1965 sore hari. Gedung RRI pusat dan Kantor Pusat Telekomunikasi
dapat direbut kembali tanpa pertumpahan darah oleh satuan RPKAD di bawah
pimpinan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo, pasukan Para Kujang/328 Siliwangi, dan
dibantu pasukan kavaleri. Setelah diketahui bahwa basis G 30 S/PKI berada di
sekitar Halim Perdana Kusuma, sasaran diarahkan ke sana.
2. Tanggal
2 Oktober 1965
Pada tanggal
2 Oktober, Halim Perdana Kusuma diserang oleh satuan RPKAD di bawah komando
Kolonel Sarwo Edhi Wibowo atas perintah Mayjen Soeharto. Pada pikul 12.00
siang, seluruh tempat itu telah berhasil dikuasai oleh TNI – AD.
3. Tanggal
3 Oktober 1965
Pada hari Minggu tanggal 3 Oktober 1965, pasukan
RPKAD yang dipimpin oleh Mayor C.I Santoso berhasil menguasai daerah Lubang
Buaya. Setelah usaha pencarian perwira TNI – AD dipergiat dan atas petunjuk
Kopral Satu Polisi Sukirman yang menjadi tawanan G 30 S/PKI, tetapi berhasil
melarikan diri didapat keterangan bahwa para perwira TNI – AD tersebut dibawah
ke Lubang Buaya. Karena daerah terebut diselidiki secara intensif, akhirnya
pada tanggal 3 Oktober 1965 Ditemukan tempat para perwira yang diculik dan
dibunuh tersebut.. Mayat para perwira itu dimasukkan ke dalam sebuah sumur yang
bergaris tengah ¾ meter dengan kedalaman kira – kira 12 meter, yang kemudian
dikenal dengan nama Sumur Lubang Buaya.
4. Tanggal
4 Oktober 1965
Pada tanggal 4 Oktober, penggalian Sumur Lubang
Buaya dilanjutkan kembali (karena ditunda pada tanggal 13 Oktober pukul 17.00
WIB hingga keesokan hari) yang diteruskan oleh pasukan Para Amfibi KKO – AL
dengan disaksikan pimpinan sementara TNI – AD Mayjen Soeharto. Jenazah para
perwira setelah dapat diangkat dari sumur tua tersebut terlihat adanya
kerusakan fisik yang sedemikian rupa. Hal inilah yang menjadi saksi bisu bagi
bangsa Indonesia betapa kejamnya siksaan yang mereka alami sebelum wafat.
5. Tanggal
5 Oktober 1965
Pada tanggal 5 Oktober, jenazah para perwira TNI –
AD tersebut dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata yang sebelumnya
disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat.
6. Tanggal 6
Oktober 1965
Pada tanggal 6 Oktober, dengan surat keputusan
pemerintah yang diambil dalam Sidang Kabinet Dwikora, para perwira TNI – AD
tersebut ditetapakan sebagai Pahlawan Revolusi.
Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30
S PKI adalah sebuah kejadian yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 di
mana enam pejabat tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya
dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut sebagai usaha kudeta yang
dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.
Latar Belakang
PKI merupakan partai Stalinis yang terbesar di
seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Sovyet. Anggotanya berjumlah sekitar
3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol
pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani
Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan
wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI
mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno
menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan
penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para
jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem
"Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin"
Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan
Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi
antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan
pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan
masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun,
foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer
menjadi wabah.
PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa
yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezim Demokrasi
Terpimpin dan, dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk
membentuk "Angkatan Kelima" dengan mempersenjatai pendukungnya. Para
petinggi militer menentang hal ini.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin
berusaha menghindari bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan
militer. Pemimpin-pemimpin PKI mementingkan "kepentingan bersama"
polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan
"Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit
menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap
sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan
seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya
mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan ribu petani
bergerak merampas tanah dari para tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan besar
terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Untuk mencegah
berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI mengimbau semua pendukungnya
untuk mencegah pertentangan menggunakan kekerasan terhadap para pemilik tanah
dan untuk meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur lain, termasuk angkatan
bersenjata.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita
perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik AS. Kepemimpinan PKI menjawab ini
dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama,
jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah
para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus
mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah
merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah
angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan
persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan
unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".
Rejim Sukarno mengambil langkah terhadap para
pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak
berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas
persiapan-persiapan untuk pembentukan rejim militer, menyatakan keperluan untuk
pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang
terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan
mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang
berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa
yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan
jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat
negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa
"NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan
bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI
tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan
Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara
sedang diubah untuk memecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
Peristiwa
Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan
beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para
pengawal istana (Cakrabirawa) yang loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin
oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen
Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
Korban kekejaman PKI :
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
• Panglima
Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani,
• Mayjen
TNI R. Suprapto
• Mayjen
TNI M.T. Haryono
• Mayjen
TNI Siswondo Parman
• Brigjen
TNI DI Panjaitan
• Brigjen
TNI Sutoyo Siswomiharjo
Jenderal TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai
salah seorang target namun dia selamat dari upaya pembunuhan tersebut.
Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan AH Nasution, Lettu
Pierre Tandean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi
korban:
• AIP Karel
Satsuit Tubun
• Brigjen
Katamso Darmokusumo
• Kolonel
Sugiono
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu
lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka
ditemukan pada 3 Oktober.
Pasca kejadian
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris
jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para
"pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di
Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat
untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara
angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik
dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan
organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi
Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak
ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin
Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno:
"Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda
telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio
kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari
kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di
bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan
mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang
yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia.
Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia
mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh"
atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan
negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan
Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner
apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung
mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966,
Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas
Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang
sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan
pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh
Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno
dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim
Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh
TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris
Kedua PKI Nyoto.
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua
anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan
simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu
pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp
tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Berapa jumlah orang yang dibantai tidak
diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang,
sementara lainnya 2.000.000 orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta
orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut
dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi
muslim sayap-kanan melakukan pembunuhan-pembunuhan massa, terutama di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat
Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu
"terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta
anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan
puluhan ribu dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan
sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi semua
anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji
terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam
skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi
yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat
membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang
sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi
sungai menjadi terhambat secara serius."
Di Pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai
kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana
para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku
pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine
Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam
galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani
tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus. Di
daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka
untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan
rasialis "anti-Cina" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai
pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian
kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani
dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih
dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih
dilakukan sampai sekarang, termasuk beberapa dozen sejak tahun 1980-an. Empat
tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan
Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati
sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober,
ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto,
biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh
stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain
itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila
Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan
revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah
tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September - 4 Oktober 2006, diadakan
rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap
ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang
bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi
kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu
juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad
Aidit, Haryo Sasongko, Sasmaja, dan Putmainah..